Kamis, 12 Februari 2009

TIGA NASEHAT

  Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung.  Burung  itu berkata  kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."   Si Burung berjanji akan memberikan  nasehat  pertama  ketika masih  berada  dalam  genggaman  orang  itu, yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon, dan yang ketiga ia sudah mencapai puncak bukit.   Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.   Kata burung itu,   "Kalau  kau  kehilangan  sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."   Orang itupun melepaskannya, dan burung itu  segera  melompat ke dahan.   Di sampaikannya nasehat yang kedua,   "Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti."   Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari  sana  ia berkata,   "O  manusia malang! diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!"   Orang itu sangat menyesal  memikirkan  kehilangannya,  namun katanya,  "Setidaknya,  katakan  padaku  nasehat yang ketiga itu!"   Si Burung menjawab,   "Alangkah tololnya kau,  meminta  nasehat  ketiga  sedangkan yang   kedua  pun  belum  kaurenungkan  sama  sekali!  Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa  kalau  kehilangan,  dan jangan  mempercayai  hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang  tak masuk  akal  dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!   Kau tolol. Oleh  karenanya  kau  harus  tetap  berada  dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia."   Catatan   Dalam  lingkungan  darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk  "mengakalkan"  pikiran  siswa   Sufi,   menyiapkannya menghadapi   pengalaman   yang  tidak  bisa  dicapai  dengan cara-cara biasa.   Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan Sufi, kisah ini  kedapatan  juga  dalam klasik Rumi, Mathnawi. Kisah ini ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar, salah seorang guru Rumi. Kedua pujangga itu hidup pada abad ke tiga belas.

ORANG YANG MENYADARI KEMATIAN

  Konon, ada seorang raja  darwis  yang  berangkat  mengadakan perjalanan  melalui  laut.  Ketika  penumpang-penumpang lain memasuki  perahu  satu  demi  satu,  mereka  melihatnya  dan sebagai lazimnya --merekapun  meminta nasehat kepadanya. Apa yang dilakukan semua darwis tentu sama saja,  yakni  memberi tahu  orang-orang  itu  hal  yang  itu-itu  juga: darwis itu tampaknya mengulangi saja salah satu  rumusan  yang  menjadi perhatian darwis sepanjang masa.   Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu maut itu apa." Hanya beberapa  penumpang  saja  yang  secara khusus tertarik akan peringatan itu.   Mendadak   ada   angin  topan  menderu.  Anak  kapal  maupun penumpang   semuanya   berlutut,    memohon    agar    Tuhan menyelamatkan  perahunya.  Mereka terdengar berteriak-teriak ketakutan,  menyerah  kepada  nasib,  meratap   mengharapkan keselamatan.  Selama itu sang darwis duduk tenang, merenung, sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan adegan yang ada disekelilingnya.   Akhirnya  suasana  kacau  itu  pun berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa  tenang darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung.   Salah   seorang   bertanya  kepadanya,  "Apakah  Tuan  tidak menyadari bahwa pada waktu angin  topan  itu  tak  ada  yang lebih  kokoh  daripada  selembar papan, yang bisa memisahkan kita dari maut?"   "Oh, tentu," jawab darwis itu. "Saya tahu, di laut selamanya begitu.  Tetapi saya juga menyadari bahwa, kalau saya berada di darat dan  merenungkannya,  dalam  peristiwa  sehari-hari biasa, pemisah antara kita dan maut itu lebih rapuh lagi."   Catatan   Kisah   ini  ciptaan  Bayazid  dari  Bistam,  sebuah  tempat disebelah selatan  Laut  Kaspia.  Ia  adalah  salah  seorang diantara  Sufi  Agung zaman lampau, dan meninggal pada paroh kedua abad kesembilan.   Ayahnya  seorang  pengikut  Zoroaster,   dan   ia   menerima pendidikan  kebatinannya  di  India. Karena gurunya, Abu-Ali dari Sind, tidak menguasai ritual Islam sepenuhnya, beberapa ahli  beranggapan  bahwa  Abu-Ali  beragama Hindu, dan bahwa Bayazid tentunya mempelajari  metode  mistik  India.  Tetapi tidak   ada  ahli  yang  berwewenang,  diantara  Sufi,  yang mengikuti anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid  termasuk kaum Bistamia.

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)

Intro:

Am x4

Am C
A blinding flash of white light
G Am
Lit up the sky over Gaza tonight
Am C
People running for cover
G Am
Not knowing whether they’re dead or alive

Dm Am
They came with their tanks and their planes
Dm Am
With ravaging fiery flames
Dm F
And nothing remains
C G
Just a voice rising up in the smoky haze

F C
We will not go down
Am G
In the night, without a fight
F C 
You can burn up our mosques and our homes and our schools
Am G
But our spirit will never die
Am G
We will not go down
Am
In Gaza tonight

Am C
Women and children alike
G Am
Murdered and massacred night after night
Am C
While the so-called leaders of countries afar
G Am
Debated on who’s wrong or right

Dm Am
But their powerless words were in vain
Dm Am
And the bombs fell down like acid rain
G Am
But through the tears and the blood and the pain
C Em
You can still hear that voice through the smoky haze


F C
We will not go down
Am G
In the night, without a fight
F C 
You can burn up our mosques and our homes and our schools
Am G
But our spirit will never die
Am G
We will not go down
Am 
In Gaza tonight

F C
We will not go down
Am G
In the night, without a fight
F C 
You can burn up our mosques and our homes and our schools
Am G
But our spirit will never die
F C
We will not go down
Am G
In the night, without a fight
Am G
We will not go down
Am
In Gaza tonight